Oleh: Kartika Dewi Wulan Sari
Pangan fungsional pertama kali dikenalkan di Jepang pada tahun 1980-an. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia, pangan fungsional didefinisikan sebagai pangan yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu di luar fungsi dasarnya, terbuti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Untuk menghadapi tantangan pasar yang semakin kompetitif, pangan fungsional harus mampu bersaing dengan produk lain yang menampilkan klaim seperti produk pangan rendah lemak, rendah garam, rendah kalori, rendah gula, maupun produk pangan organik. Oleh karena itu, klaim adanya berbagai manfaat kesehatan dalam pangan fungsional harus dikomunikasikan dan diperkenalkan dengan baik untuk menarik minat konsumen, selain itu produk juga harus memiliki rasa yang disukai, praktis, dan terjangkau.
Makanan yang mengandung mikroorganisme probiotik termasuk dalam kategori pangan fungsional dan telah diadopsi oleh BPOM melalui Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan. Secara umum, pangan probiotik merupakan makanan yang mengandung mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi manusia dapat memengaruhi kesehatan inang/host dengan memperbaiki sifat-sifat mikroflora saluran cerna. Pangan Probiotik dapat berupa:
- Produk fermentasi yang mengandung satu atau lebih bakteri Probiotik, atau
- Pangan Olahan kering yang mengandung satu atau lebih bakteri Probiotik kering dalam bentuk granula atau bubuk (powder) yang dapat dikonsumsi sebagai makanan maupun minuman, atau
- Pangan Olahan cair non fermentasi yang mengandung satu atau lebih bakteri Probiotik.
Berbagai manfaat kesehatan yang muncul setelah mengonsumsi probiotik antara lain memberikan kesehatan saluran pencernaan, kekebalan tubuh, kesehatan organ kewanitaan, mencegah irritable bowel syndrome (IBS), inflammatory bowel disease (IBD), atopic eczema, rheumatoid arthritis, dan liver cirrhosis.
Saat ini ketertarikan industri akan komersialisasi makanan probiotik meningkat secara signifikan (Stanton et al., 2001). Produsen makanan sangat antusias dalam mengembangkan produk-produk pangan probiotik karena bahan yang diintroduksi/ditambahakan dapat memberikan added value pada produk. Sampai dengan saat ini makanan probiotik banyak didominasi oleh produk-produk berbasis susu, terutama susu fermentasi, yogurt, kefir, kini muncul pula keju probiotik dan juga ice cream. Namun demikian, penelitian mengenai penambahan probiotik pada bahan berbasis non-susu juga meningkat pesat, seperti pada jus buah, sayuran, cokelat, jelly, dll. (Lestari dkk, 2018).
Pangsa pasar probiotik non susu semakin terbuka lebar karena beberapa alasan, yaitu prevalensi tinggi terhadap lactose intolerance serta tren menjadi vegetarian yang semakin meningkat. Banyak juga orang yang alergi terhadap produk susu sehingga menghindari mengonsumsi produk olahan susu. Hal tersebut mendorong para peneliti maupun industri untuk melakukan terobosan yaitu mengganti susu dengan bahan lain seperti sereal, buah, maupun sayuran sebagai probiotic carrier. Demikian pula, probiotik yang telah melalui proses mikroenkapsulasi dapat diintroduksikan pada berbagai jenis makanan, misalnya permen, cokelat, jelly dan sebagainya. (Rahayu, 2011)
Untuk produk probiotik non susu, proses pembuatannya diawali dengan produksi biomassa, dan sebelum diintroduksikan pada makanan, pada umumnya probiotik ini dimikroenkapsulasi terlebih dahulu untuk menjaga stabilitas dan viabilitas. Jumlah probiotik minimal dalam produk merupakan titik kritis yang harus diperhatikan dalam produksi pangan probiotik agar probiotik dapat memberikan manfaat kesehatan yang optimal. Supaya mampu menimbulkan efek kesehatan, jumlah probiotik yang dikonsumsi per hari disarankan 107-109. Beberapa bahan yang sering digunakan untuk mikroenkapsulasi diantaranya alginate (ditambah dengan kalsium klorida), pati dan maltodekstrin, xantan-gelan, karagenan, gelatin, kitosan, skim milk dan protein whey, minyak kedelai bahkan komponen prebiotik.
Tantangan dan peluang produk makanan probiotik non-susu, perlu diimbangi dengan teknologi mikroenkapsulasi yang ditujukan untuk menjaga stabilitas dan viabilitas agar probiotik ini dapat diintroduksikan pada berbagai jenis makanan. Selain itu, strain probiotik juga harus mempunyai karakteristik yang tidak berubah pada produksi skala besar serta tidak memengaruhi sifat-sifat sensoris dan mutu produk (Ross et al., 2005).
Referensi
Lestari, Lily Arsanti dan Siti Helmyati. 2018. Peran Probiotik di Bidang Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta:UGM Press.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan.
Rahayu, Endang S. 2011. Tantangan dan Peluang Mengembangkan Probiotik pada Produk Non Susu. https://www.foodreview.co.id/blog-56582-Tantangan-dan-Peluang-Mengembangkan-Probiotik-pada-Produk-Non-Susu.html
Ross, R.P., Desmond, C., Fitzgerald, G.F., Stanton, C. 2005. Overcoming the Technological Hurdles in the Development of Probiotic Foods. J. Appl. Microbiol., Vol. 98. Pp.1410-1417.
Stanton, C., Gardiner, G., Mehan, H., Collins, K., Fitzgerald, G., Ross, R.P., 2001. Market Potential for Probiotics.Am. J. Clin. Nutr., 73(2S). Pp. 476S-483S.