Oleh : Novia Nur Aini
Makanan fermentasi sudah dikenal pada zaman revolusi neolitik sekitar 14.000 tahun yang lalu. Namun, kali ini makanan fermentasi kembali menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Masih banyak timbul menjadi perdebatan terkait makanan fermentasi itu sendiri dimulai dari pengertian makanan fermentasi, perbedaannya dengan makanan probiotik, serta pengaruh makanan fermentasi terhadap kesehatan khususnya efeknya terhadap kondisi mikrobiota usus. Oleh karena itu, hal-hal ini kemudian dibahas secara rinci oleh International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics (ISAPP) dengan beberapa pelopor yaitu G. Gibson, E. Quigley, S. Salminen, K. Scott, dan H. Szajewska. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tujuan utama dari proses fermentasi adalah untuk memperpanjang umur simpan serta menghilangkan komponen berbahaya dalam bahan pangan yang sekiranya dapat terjadi dalam beberapa industri dengan keterbatasan akses terhadap penyimpanan maupun air bersih. Selama proses fermentasi, dihasilkan beberapa macam produk seperti asam organik, alkohol, maupun zat antimikrobia. Produk fermentasi yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat biasanya memiliki karakteristik produk dengan rasa yang asam, dimana pada umumnya lebih aman dikarenakan asam yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat menghambat bakteri lain, baik bakteri pembusuk maupun bakteri patogen.
Makanan fermentasi dapat didefinisikan sebagai makanan yang dibuat melalui proses pertumbuhan mikrobia dan konversi enzimatik dari komponen makanan. Pada mulanya makanan fermentasi dihasilkan melalui proses fermentasi spontan dengan mengandalkan mikrobia pada bahan dasar dan lingkungan. Pengertian tersebut sedikit tumpang tindih dengan artian dari proses pembusukan dimana perbedaannya adalah proses fermentasi merupakan proses yang disengaja dengan adanya pemberian inokulum dan dikendalikan untuk mendapatkan atribut yang diinginkan pada suatu produk. Berikut merupakan beberapa contoh makanan fermentasi yang pada Tabel 1.
Roti dapat dikatakan sebagai makanan fermentasi walaupun mikroorganismenya terbunuh selama proses pemanggangan. Akan tetapi, apabila suatu makanan ditambahkan dengan mikroorganisme atau makanan yang diturunkan secara kimiawi dari makanan fermentasi, maka makanan tersebut tidak termasuk dalam kategori makanan fermentasi. Salah satu aplikasi makanan fermentasi yang sudah diterapkan dalam industri adalah proses fermentasi dalam pengolahan keju yang berfungsi untuk menghilangkan adanya laktosa dalam susu. Selain itu, proses fermentasi juga berfungsi untuk meningkatkan sifat fungsional dari suatu bahan pangan agar menjadi produk yang lebih bergizi serta nikmat untuk dikonsumsi. Contohnya seperti dalam pembuatan kecap dari kedelai untuk peningkatan flavor spesifik yang didapatkan dari peran nukleotida dan asam amino. Proses fermentasi pada tempe juga dapat menghasilkan produk dengan gizi yang lebih baik yaitu dihasilkan vitamin B12 dan senyawa antioksidan sebagai hasil dari metabolisme Rhizopus selama fermentasi berlangsung.
Makanan fermentasi berbeda dengan makanan probiotik dimana istilah probiotik hanya dapat digunakan apabila mikroorganisme hidup yang terdapat dalam makanan telah memiliki strain yang teridentifikasi dengan jelas, terbukti dapat memberikan manfaat kesehatan, serta berada dalam jumlah yang cukup hingga akhir masa simpan produk. Probiotik sendiri merupakan mikroorganisme hidup yang dikonsumsi dalam jumlah cukup serta mampu berkembang biak dalam saluran pencernaan manusia serta dapat memberikan manfaat kesehatan (FAO/WHO, 2002). Terdapat 3 hal yang harus dipenuhi oleh mikroorganisme probiotik yaitu: (1) mikroorganisme dalam kondisi hidup saat dikonsumsi dan mampu berkolonisasi di kolon (usus besar); (2) jumlahnya cukup; (3) membawa manfaat terhadap kesehatan tubuh. Definisi tersebut dikuatkan oleh ISAAP (2014) dalam sebuah konsensus yang mengusulkan bahwa probiotik tidak hanya mikroorganisme yang hidup saja, tetapi merupakan strain yang teridentifikasi dengan baik (well-defined strains). Sehingga makanan fermentasi belum tentu tergolong makanan probiotik dikarenakan mikroorganisme yang terdapat didalamnya belum teridentifikasi secara jelas, belum diketahui manfaatnya, beserta dosisnya belum tentu mencukupi syarat sebagai probiotik. Contohnya pada fermented saurkrauts tidak dapat dikatakan sebagai makanan probiotik walaupun mengandung banyak Lactobacillus plantarum, karena belum diketahui karakteristiknya dan jumlahnya belum tentu memenuhi syarat sebagai probiotik. Akan tetapi, jika fermented saurkrauts tersebut mengandung Lactobacillus plantarum 99v dimana karakteristik probiotiknya sudah diketahui secara klinis dan memiliki dosis yang efektif sampai akhir masa simpan maka produk tersebut dapat dikatakan sebagai makanan probiotik.
Apabila probiotik ingin ditambahkan ke dalam makanan fermentasi, maka harus mempertimbangkan beberapa faktor khususnya kemampuan probiotik untuk bertahan hidup pada produk dan aktif saat dikonsumsi hingga sampai ke saluran pencernaan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan antara lain:
- Asal usul strain dan keamanannya (isolat telah teridentifikasi dengan jelas).
- Aspek fisiologi berupa resistensi terhadap pH rendah dan bile salt, kemampuan berkolonisasi pada lumen dan aderensi pada sel epitel, resitensi terhadap suhu tinggi maupun suhu rendah, kekeringan saat proses pengolahan makanan, interaksi dengan mikrobia fermentasi (sinergisme atau antagonisme), dan viabilitas yang diharapkan tinggi yaitu 10^6 CFU/g produk.
- Aspek fungsional berupa adanya produksi antimikrobia dan daya antagonistic terhadap patogen enterik, memiliki b-galaktosidase, mampu mengasimilasi serum kolesterol dan mendekonjugasi bile salt, memproduksi asam amino, vitamin, immune response, atau sebagai anti kanker.
- Aspek teknologi (aplikasi pada makanan) meliputi tahapan preparasi strain probiotik, jumlah probiotik yang ditambahkan, stabilitas dan viabilitas sel, beserta kondisi fermentasi maupun penyimpanan produk.
Istilah probiotik tidak jauh dari istilah prebiotik. Berbeda dengan probiotik, prebiotik merupakan komponen makanan yang tidak hidup yang dapat memberikan manfaat kesehatan tubuh melalui modulasi mikrobiota. Persyaratan utama komponen prebiotik adalah tidak dicerna oleh enzim pencernaan, dapat difermentasi oleh bakteri baik dalam kolon yaitu Bifidobacterium dan Lactobacillus. Dengan kata lain, prebiotik merupakan substrat yang secara selektif digunakan oleh mikroorganisme inang yang memberikan kesehatan. Gibson dan Roberfrid (1995) mendefinisikan prebiotik merupakan komponen makanan yang tidak dapat dicerna, pada umumnya berupa karbohidrat rantai pendek atau short-chain carbohydrates (SCC) yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri yang berguna dalam saluran pencernaan seperti Bifidobacterial dan Lactobacilli. Terdapat beberapa contoh prebiotik antara lain adalah inulin, frukto-oligosakarida (FOS), maupun (trans)-galakto-oligosakarida (GOS). Selain itu, beberapa makanan fermentasi mungkin mengandung probiotik yang disintesis oleh mikroorganisme didalamnya seperti ekspolisakarida yang terbentuk selama proses fermentasi susu. Ada pula yang disebut dengan sinbiotik dimana sinbiotik dapat diartikan sebagai makanan yang sekaligus memiliki komponen mikroorganisme hidup (probiotik) dan substrat prebiotik.
Oleh karena itu, tidak semua makanan fermentasi termasuk ke dalam kategori makanan probiotik. Akan tetapi, apabila mikroorganisme dalam makanan tersebut memenuhi syarat sebagai probiotik, maka makanan fermentasi tersebut juga dapat diklaim sebagai makanan probiotik.
Sumber utama tulisan ini adalah dari:
Marco, M. L., Sanders, M. E., Ganzle, M., Arrieta, M. C., Cotter, P. D., Vuyst, L. D., Hill, C., Holzapfel, W., Lebeer, S., Merenstein, D., Reid, G., Wolfe, B. E., and Hutkins, R. 2019. The International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics (ISAPP) consensus statement on fermented foods. Natural Reviews Gastroenterology & Hepatology.
Rahayu, E. S. 2014. Makanan Fermentasi dan Probiotik. Yogyakarta: Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.