Sejauh ini, Asian Microbiome Project (AMP) telah mengumpulkan data mikrobiota usus dari orang-orang dari beberapa negara di Asia. Hal ini bertujuan untuk memahami kondisi terkini usus sebagai hasil pengaruh pola makan dan kesehatan orang Asia.
Sepuluh tahun lalu, Pada penelitian Fase I Tim telah mengumpulkan sejumlah sampel feses anak usia sekolah dari 5 negara, antara lain China, Jepang, Thailand, Taiwan, dan Indonesia. Pada setiap negara, tim mengumpulkan sampel dari daerah perkotaan dan pedesaan. Hasilnya menunjukkan bahwa Gut Microbiota anak-anak Asia Timur jauh berbeda dari anak-anak Asia Tenggara yang masing-masing didorong oleh Bacteroides-Bifidobacterium dan Provotella. Tim juga menyelidiki lebih lanjut anak-anak Mongolia, Korea dan Filipina. Ditemukan bahwa Mongolia dikategorikan dalam tipe anak-anak Asia Tenggara, sedangkan Korea dikategorikan dalam tipe Asia timur. Saat itu belum ditemukan faktor yang mempengaruhi kedua tipe tersebut sehingga belum bisa diambil kesimpulan. Akan tetapi, modern high fat diet di masa modern menjadi salah satu indikasi. Dalam satu dekade terakhir, kebiasaan makan pada anak-anak di setiap negara seharusnya telah berubah yang tentunya akan mengubah Gut Microbiota-nya. Asumsi ini membuat Tim termotivasi untuk mengumpulkan sampel Gut Microbiota anak usia sekolah yang saat ini sudah melewati satu dekade dari studi fase I. Penelitian ini menjadi studi penting untuk melihat perubahan global terhadap Gut Microbiota setelah hilangnya pola makan tradisional. Adapun data yang diambil meliputi 16S rRNA amplicon, SCFA profile, Bile acid profile, dan FQQ. Pengambilan sampel masing masing sejumlah 50 orang dilakukan di tempat yang sama seperti sebelumnya, antara lain
1. Jepang: Tokyo dan Fukuoka
2. Thailand: Kon Kaen dan Bangkok
3. Indonesia: Yogyakarta dan Bali
4. Filipina: Ormoc dan Baybay
Pada fase IV, Tim telah mengumpulkan sampel feses dari sejumlah pasien obesitas dan Type 2 Diabetes (T2D) dari Indonesia, Mongolia, dan Filipina. Ditemukan kecenderungan umum pada ketiga negara ini, yaitu disbiosis usus pada pasien obesitas yang mungkin disebabkan oleh diet tinggi lemak, dan pergeseran enterotipe dari tipe Prevotella ke tipe Bacteroides pada pasien T2D yang kemungkinan didorong oleh pergeseran dari pola makan tradisional ke pola makan modern yang cenderung mempengaruhi orang untuk terkena diabetes. Dalam studi di Indonesia, terdapat hal menarik terkait obesitas dan T2D dimana ditemukannya beberapa ciri ciri bakteri, seperti, Bacteroides fragilis dan Romboutsia sp. untuk kedua tipe, T2D dan obesitas. Kami juga menemukan sisa sisa metabolit, yaitu asam ursodeoxycholic terkonjugasi (TUDCA dan GUDCA) dimana hal ini menjelaskan perkembangan T2D yang dipicu oleh Gut Microbiota. Dalam studi Mongolia karena kurangnya sampel kontrol yang sehat, dilakukan pembandingan parameter Gut Microbiota antara pasien obesitas non-T2D dan pasien T2D obesitas. Ditemukan bahwa pasien T2D obesitas memiliki lebih sedikit SCFA dalam feses, dan TUDCA lebih sedikit sama dengan pasien T2D Indonesia. Dari hasil tersebut, dapat dibahas hubungan Gut Microbiota dengan penyakit metabolik. Namun, saat ini masih terlalu awal untuk menyimpulkan karena data yang didapatkan saat ini baru mengisi sebagian saja dari teka-teki besar jaringan kompleks Gut Microbiota dan penyakit metabolik. Untuk menangkap secara utuh teka-teki ini, diperlukan studi observasi lanjutan pada skala yang lebih besar sambil melakukan studi tingkat molekuler. Jadi, diperlukan lebih banyak upaya untuk mengumpulkan sampel dari pasien obesitas, T2D, dan mungkin pasien penyakit lainnya diminta dalam CCP kali ini. Prosedur pengambilan sampel akan sama dengan studi Fase IV yang sudah pernah dilakukan.
Pada Core to Core Program (CCP) kali ini, Prof. Dr. Jiro Nakayama dari Universitas Kyusu, Jepang bersama dengan Tim Peneliti Gut Microbiota PUI-PT Probiotik berfokus untuk mempelajari variasi Gut Microbiota dari masing masing orang di negara negara tersebut dengan tujuan untuk mempelajari lebih dalam Gut Microbiota dalam mencerminkan kebiasaan diet di setiap negara, serta variasinya di dalam negara yang mungkin mencerminkan kebiasaan diet yang berubah, khususnya di wilayah perkotaan. Hal ini sebagai lanjutan penelitian fase I dan Fase IV yang sudah dilakukan.