Oleh : Kartika Wulan Sari
Saat ini luas areal perkebunan kakao di Indonesia sekitar 98% (1.634.819 Ha) dibudidayakan oleh petani rakyat (BPS, 2018) yang tersebar di Sulawesi, Sumatra, dan Jawa. Karena perkebunan kakao di Indonesia adalah perkebunan rakyat, maka proses fermentasi yang dilakukan masih sangat sederhanan dan belum memperhatikan keamanan produk kakao sehingga mutunya masih rendah dan belum memenuhi pesyaratan perdagangan dunia.
Permasalahan yang sering ditemui di lapangan yaitu:
- Keseragaman biji kakao tidak merata/tidak terpenuhi
- Tingkat keasaman biji cenderung tinggi
- Flavor lemah
- Biji kakao tidak terfermentasi sempurna
- Biji kakao terkontaminasi kapang/jamur
Proses fermentasi biji kakao merupakan salah satu tahapan dalam memproduksi kakao. Mikrrorganisme yang berperan pada proses fermentasi biji kakao yaitu yeast, bakteri asam laktat, dan bakteri penghasil asam asetat. Kondisi proses yang terjadi di lapangan buah kakao tanpa sortasi buah dan biji basah difermentasi secara spontan selama 5-6 hari pada kondisi yang tidak memenuhi persyaratan menyebabkan jumlah optimum biji tidak terpenuhi, suhu dan pH optimum tidak tercapai. Biji kakao kemudian dipecah dan langsung dikeringkan tanpa dicuci sehingga biji kakao tercemar kapang/jamur penghasil mikotoksin dan okratoksin. tim peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta (BPTP Yogyakarta) melakukan fermentasi biji kakao yang berasal dari perkebunan rakyat di Patuk, Gunungkidul kemudian memperoleh lima isolat bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus plantarum HL-17, Lactobacillus plantarum HL-12, Lactobacillus plantarum HL-14, Lactobacillus plantarum HL-15, dan Lactobacillus plantarum HL-56. Berdasarkan penelitian, kultur Lactobacillus plantarum HL-15 mempunyai efektivitas tertinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus niger YAC-9 penghasil mikotoksin.